Syahdan, pencuri zakat itu memberikan nasihat kepada Abu Huraira, “Idza awaita ila firasyika; Jika engkau hendak tidur”. Tuturnya, “Maka bacalah ayat kursi. Jika Engkau membacanya, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai subuh tiba. Nasihat pencuri tersebut diterima Abu Hurairah yang bersemangat dalam mencari ilmu.

Sesaat bertemu Rasulullah, ada pernyataan yang membuat Abu Hurairah bingung, “Innahu qad shadaqaka wa huwa kadzubun; saat itu ia berkata benar, meskipun dia adalah pendusta”. Lalu Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, tahukah kamu siapakah yang bercakap denganmu selama tiga malam itu? “Tidak, Ya Rasulullah,” jawab Abu Hurairah, Rasulullah pun memberikan informasi, “Dzaka syaitanun; dia itu syaitan.” Kisah ini termaktub di shahih Al Bukhari, al wakalah bab idza wakkala rajulan.
Sebuah quotes yang dinisbatkan ke Ali bin Abi Thalib, “Undzur maa qala wa la tandzur man qala; lihatlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan”. Itulah yang dirasakan oleh Abu Hurairah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu tetap menerima dan mengamalkan ilmu dan nasihat dari syaitan tersebut, hingga kitapun juga mengamalkan nasihat syaitan tersebut, dengan melafalkan ayat kursi sebelum kita tidur. Bukan begitu?
Islam begitu ternikmati dengan adanya konsepsi nasihat, karena Islam itu sendiri adalah nasihat. Insan Mulia bersabda, “Ad Dinu an Nasihatu; Agama itu adalah nasihat”. Kemudian, Tamim Ad Dary bertanya kepada Rasulullah, “Liman; hak siapa nasihat itu?” Rasulullah pun menjawab diantaranya, “wa ‘ammatihim; dan seluruh kaum muslimin”.
Jadi, tiap diri kaum muslimin memiliki hak untuk mendapatkan nasihat. Pertanyaannya, lalu siapakah yang berhak memberikan nasihat?. Masih menjadi jamak di pandangan masyarakat, pemberi nasihat itu adalah mereka; orang yang berilmu, baik budi pekertinya, orang dengan strata sosial tinggi, pun juga orang yang memiliki jabatan.
Lalu bagaimana dengan orang yang pernah punya keburukan dalam hidupnya? Apakah dia tidak berhak untuk memberikan nasihat? Apakah dia tidak pantas untuk melafalkan kalimat-kalimat kebaikan?
Jawabannya, siapapun dia, dengan status apapun, dia berhak untuk melafalkan dari lisannya kebaikan-kebaikan. Karena hakikatnya nilai-nilai kebaikan itu tidak akan berubah hanya dikarenakan status orang yang mengucapkannya. Seorang ayah yang tidak baik, tetap boleh berpesan, “Nak, yang rajin shalat tahajudnya, ya”. Karena hukum dan nilai kebaikan shalat tahajud tidak akan berubah tersebab status orang yang menasihatkan.
Maka, orang yang pernah melakukan kemaksiatan, kesalahan, dan dosa besarpun dan kemudian ia bertaubat, Ia tetap memiliki hak untuk menasihati, bahkan ia memiliki nilai lebih saat memberikan nasihat. Nilai lebih apakah itu? Sebuah pengalaman! Jadi, jika bertemu dengan teman-teman yang memiliki masa lalu suram dan kelam, jangan dijauhi. Dekati, temani, dan rangkullah mereka. Karena mereka memiliki nilai positif untuk kita, mereka menyimpan nilai kebaikan untuk kita. Apakah itu? Tiada lain pengalaman mereka dimasa lalu yang kelam.
Nasihat yang mereka sampaikan melalui pengalaman masa lalunya begitu terasa sekali saat kita mau bersahabat dalam taat dengan mereka, saat kita mendengarkan sepenggal demi sepenggal kisah mereka terjerumus dalam keburukan, dan juga stimulan motivasi mereka kembali taat kepada Allah. Sungguh “kisah nasihat” mereka begitu ternikmati oleh hati, dan terakui oleh logika diri.
Begitu luhur tutur lisan Insan Mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesaat ditanya “Man akramu annasi; siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah sempat beberapa kali tidak memahami maksud dari pertanyaan tersebut, kemudian Rasulullah pun bertanya, “fa’an ma’adinil ‘arabi tasaluni; apakah yang kalian maksud dari kalanganku?” “Iya”, jawab para sahabat. Rasulullah pun menjawab, “fakhiyarukum fil jahiliyyati khiyarukum fil Islam idza faquhu; Orang yang terbaik di antara kalian pada masa Jahiliyyah adalah yang terbaik pula di masa Islam jika mereka memahami Islam”. (HR. Bukhari)
Maka, banyak kisah memberkah yang penuh lapis-lapis nasihat kehidupan. Semisal dari kisah Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, Abu Sufyan bin Harb, Hindun binti Utbah, Ikrimah bin Abu Jahal, Umair bin Wahab, Shafwan bin Umayyah, dan banyak lagi, sosok-sosok teladan kehidupan yang dulunya para sahabat Radhiyallahu ‘anhum tersebut pernah menjadi sosok yang buruk dalam kehidupannya.
Shalihin dan shalihat, sebuah nasihat dari sahabat Ubay bin Ka’ab menarik untuk kita pikirkan. “Terimalah nilai kebenaran yang engkau dapatkan meskipun itu datangnya dari orang yang jauh dan yang kau benci. Dan tolaklah keburukan yang sampai kepadamu walaupun berasal dari orang terdekat dan yang kau cintai”.
Wajib bagi kita menerima kebenaran darimanapun datangnya. Dan, kita juga wajib selektif dalam mencari kebenaran. Bitaufiqillah. (Allahu A’lam)
Ustaz Heru Kusumahadi M.PdI
Pembina Surabaya Hijrah (KAHF)
———————————————————————-
Salurkan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf Anda melalui:
Website: zakato.co.id
Rekening BSI 708 2604 191
An. Lembaga Manajemen Infaq
Konfirmasi: 0823 3770 6554