Secara prinsip, untuk jenis harta yang mensyaratkan haul, pembayaran zakat ditunaikan di saat haul (telah mencapai masa kepemilikan selama 1 tahun). Madzhab Malikiyah tidak membolehkan menunaikan zakat sebelum masuk haul.
Tetapi kebanyakan ulama membolehkan praktik menyegerakan
(tajil, membayarkan zakat lebih awal sebelum masuk haul), utamanya bila terdapat mashlahah. Bila ada orang fakir yang terdesak oleh kebutuhannya, atau terjadi bencana alam yang merusak kekayaan masyarakat, dibolehkan membayarkan zakat kepada mereka, meskipun belum masuk haul. Kebolehan ta
jil ini didasarkan pada riwayat Ali ra yang bercerita bahwa Al-Abbas ra bertanya kepada Rasulullah apakah boleh menunaikan zakat sebelum waktunya? Rasulullah saw membolehkan
(HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
Apabila muzakki menetapkan bahwa batasan haul bagi hartanya antara bulan Muharram hingga Muharram di tahun berikutnya, bagaimana dengan harta yang diperoleh pada bulan Rajab, atau Syawal? Apakah menunggu hingga genap berusia setahun? Pada kasus ini, jenis harta yang diperoleh di pertengahan haul dibedakan sebagai berikut:
Pertama, harta sebagai hasil, laba, atau keuntungan dari harta pokok yang telah ditetapkan awal haulnya. Terhadap hasil, laba, atau keuntungan dari pengelolaan harta pokok, perlakuannya adalah semuanya dianggap sebagai satu harta dengan harta pokok. Artinya hasil, laba, keuntungan tidak disyaratkan haul secara mandiri, tetapi mengikuti haul dari harta pokok.
Kedua, harta yang diperoleh antara dua batas (misal pada Rajab atau Syawal) dan tidak ada hubungan dengan harta pokok yang telah ditetapkan awal dan akhir haulnya, maka muzakki diberi pilihan:
(a) menggabungkan harta baru dengan harta awal sehingga dianggap sebagai kesatuan harta. Pilihan ini lebih mashlahah bagi mustahik dan memudahkan muzakki karena tidak disibukkan menghitung usia masing-masing harta yang diperoleh pada bulan-bulan yang berbeda;
(b) pilihan kedua, menjadikan untuk masing-masing harta batas haul tersendiri. Ulama sepakat bahwa apabila keseluruhan harta rusak atau hilang di pertengahan haul, seperti apabila di Muharram tersedia emas 100 gram dan terjadi musibah di Syawal yang menghabiskan semua emas simpanan, maka periode haul terputus. Penetapan awal haul akan dihitung ulang di saat harta kembali mencapai nishab.
Tapi, apabila berkurangnya nishab terjadi pada sebagian harta, bukan keseluruhannya, ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama bahwa berkurangnya sebagian harta di pertengahan haul menjadikan terputusnya haul, seperti bila di awal haul (Muharram) terdapat 100 juta
kemudian berkurang menjadi 70 juta di Syawal, maka haul terputus dan tidak ada kewajiban zakat.
Bila pada Dzulqa’dah uang kembali menjadi 100 juta, maka dilakukan penghitungan ulang awal nishab. Pendapat ini melihat fakta bahwa zakat diwajibkan karena mencapai nishab. Apabila nishab berkurang, maka tidak ada kewajiban zakat, sebagaimana hal saat semua harta hilang/habis.
Hanafiyah memiliki pandangan berbeda, bahwa yang menjadi patokan nishab adalah awal dan akhir haul. Apabila di pertengahan haul harta berkurang, maka tidak mempengaruhi kewajiban zakat. Bagi Hanafiyah, bertambah atau berkurangnya harta adalah keniscayaan, maka mensyaratkan tetapnya nishab sepanjang tahun (haul), akan menyulitkan dan menghilangkan potensi zakat.
Ketentuan dasar pandangan Hanafiyah adalah bila di awal tahun harta mencapai nishab (sebagai sebab kewajiban) dan di akhir haul juga tersedia nishab (sebagai kewajiban pembayaran), maka berkurangnya nishab di pertengahan tidak berpengaruh terhadap kewajiban zakat.
Perbedaan pendapat juga terjadi ketika pemilik meniatkan hak miliknya sebagai barang dagangan, kemudian di pertengahan haul pemilik berubah niat: tidak menjualnya tetapi untuk kepentingan pribadi. Pendapat pertama memandang terputusnya haul harta dagang, dengan demikian tidak termasuk yang dihitung sebagai bagian nishab barang dagangan.
Pendapat kedua, melihat perubahan niat penggunaan tidak mengubah status barang sebagai barang dagangan. Ragam kasus yang berhubungan dengan haul cukup banyak dan menjadi area perbedaan ulama. Ragam pendapat ulama ini menunjukkan keluwesan hukum Islam, mengingat tidak ada dalil spesifik yang mengaturnya.
Muslim diperkenankan memilih pendapat yang diyakininya tetapi dengan catatan: tidak dalam rangka mencari peluang menghindari kewajiban zakat. Allah SWT Maha Tahu hati hambaNya yang berkeinginan untuk menunaikan zakat, dan hati hamba-Nya yang ingin menghindari kewajiban zakat.
Wallahu a`lam bisshawab
Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq
atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425
Konfirmasi: 0823 3770 6554
LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019