Jiwa dan Hati hadirnya tak nampak oleh mata, namun dampaknya sangat terlihat mata. “Jiwa dan Hati pemenuh setengah raga ini,” begitu sebuah syair menyebutkan. Jiwa dan hati tanpanya raga ini mati dan membisu.
Salafusholeh senantiasa memperbaik hati dan membrsihkan jiwa dalam perjalanannya menyemai kebaikan. Seperti yang dicontohkan Syaikh Ahmad Yasin. Syaikh Ahmad Yasin kata-katanya begitu menggetarkan prajurit dan muridnya.

Suatu saat beliau mengajarkan qiyamullail (sholat malam) kepada muridnya, alhasil bnyak muridnya yang tak tidur karena khawatir tak bisa menjalankan qiyamullail. Lalu, ketika beliau mengajarkan puasa sunnah, anak-anak ramai ramai mogok sarapan karena mengamalkan apa yang diajari beliau.
Bagaimana mungkin tanpa Hati dan Jiwa yang bersih, seorang ‘alim yang duduk di kursi rodanya bisa begitu menggerakan seluruh muridnya? Hanya satu kuncinya, Hati dan jiwa yang bersih.
Tak kalah menakjubkan kisah Hasan Al Basri di Bashrah. Selepas mendengar seorang berceramah, Hati beliau tak bergetar dan tersentuh sedikitpun. Lalu beliau menghampiri penceramah tersebut setelah sepi dan mengatakan,
“Aku tak merasakan apa apa dlm nasihatmu mungkin ada penyakit dalam hatimu atau hatiku yg berpenyakit.”
Ibnul Qoyyim pernah mengatakan maksiat salah satu penghilang wibawa dan pengaruh. Karena ketika ia berani bermaksiat kepada Allah maka Allah akan menghinakannya dan hilanglah wibawa.
Terkadang kita terlalu sibuk memikirkan cara atau bagaimana retorika yang baik dalam menyebarkan kebaikan. Tak salah memang, namun abai terhadap hal yang paling fundamental yakni hati dan jiwa yang bersih juga merupakan sebuah kekeliruan.
Ialah Hati dan Jiwa, yang tanpanya sebuah ucapan kan terasa hampa, dan dampaknya tak akan terasa. Semoga kita senantiasa terus membersihkan hati dan jiwa dalam setiap amal kebaikan agar ridhoNya menjadi milik kita, aamiin.