Berbicara perihal zakat perusahaan, terdapat 2 perbedaan pendapat tentang siapa yang wajib mengeluarkan zakat tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat diwajibkan atas perusahaan, karena perusahaan merupakan badan hukum yang dianggap orang (syakhshiyah i`tibariyah), dianggap sebagai pemilik harta dan bertanggung jawab penuh atasnya.

Pendapat pertama telah dibahas pada edisi bulan Oktober lalu.

Zakat Perusahaan Bagian 1 Anda bisa baca di sini:
https://www.zakato.co.id/zakat-perusahaan/

Sekarang kita lanjutkan pembahasan pada pendapat yang kedua dimana dalam hal ini zakat diwajibkan atas pemilik saham, bukan pada perusahaan karena pemilik saham merupakan pemilik riil dari kekayaan perusahaan.

Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan berikut:
a. Hukum wajib zakat merupakan hukum syar`i taklifi yang berarti khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, sehingga hukum wajib zakat hanya tertuju kepada mukallaf dengan kriteria muslim baligh dan berakal yang tidak terwujud pada perusahaan.

b. Pemilik ril atas saham adalah para investor (manusia), bukan perusahaan. Bahkan perusahaan adalah milik para investor karena itu segala tindakan pengelola perusahaan didasarkan pada kehendak para pemilik, atau pada kebijakan internal yang mengatur perusahaan, atau regulasi yang mengikat perusahaan di suatu negara.

c. Kewajiban zakat perusahaan sebagai badan hukum berdampak pada ketiadaan zakat saham.

d. Bila zakat diwajibkan kepada syakhshiyah i`tibariyah, maka badan hukum yang paling riil dan paling nyata adalah negara, tetapi para fuqaha sepakat bahwa negara tidak diwajibkan membayar zakat atas harta yang dimilikinya.

e. Kewajiban zakat perusahaan berpotensi menimbulkan zakat ganda dalam satu periode zakat (haul) karena aset dan keuangan perusahaan merupakan hak milik pemegang saham. Dikhawatirkan pada sumber yang sama dibebani zakat perusahaan kemudian zakat uang atas pemilik saham.

f. Penggunaan maslahah dalam menetapkan zakat perusahaan dianggap kurang tepat sebab bersifat relatif dan tidak bisa diberlakukan dalam ibadah mahdhah seperti zakat.

Para pendukung kewajiban zakat atas perusahaan di Indonesia mendasarkan pandangannya pada:

Pertama, Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa badan
usaha (perusahaan) sebagai muzakki di samping muzakki individu/perorangan.  Undang-undang ini menguatkan pendapat bahwa perusahaan merupakan subjek zakat.

Kedua, pendekatan ijmali atas semangat dalil bahwa di perusahaan ada kekayaan yang berpotensi tumbuh sehingga memenuhi kriteria harta yang tunduk pada ketentuan zakat.

Ketiga, atas dasar konsep wakala (delegasi) dalam fikih yakni pemegang saham memberikan mandat kepada perusahaan untuk membayar zakat atas nama mereka.

Keempat, konferensi internasional pertama tentang zakat di Kuwait pada tahun 1984 yang memutuskan status wajibnya zakat perusahaan.

Fatwa MUI tentang Zakat Perusahaan

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia MUI tahun 2021 menegaskan kewajiban zakat perusahaan. Dalam fatwa yang diputuskan pada ijtima` itu disebutkan beberapa ketentuan hukum terkait
zakat perusahaan.

Pertama, Kekayaan perusahaan yang memenuhi ketentuan zakat, wajib dikeluarkan zakat.

Kedua, Kekayaan perusahaan yang dimaksud sebagai kekayaan yang tunduk pada zakat antara lain,
a) aset lancar perusahaan,
b) dana perusahaan yang diinvestasikan pada perusahaan lain,
c) dan kekayaan fisik yang dikelola dalam usaha sewa atau usaha lainnya.

Ketiga, Harta perusahaan dikeluarkan zakatnya dengan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a) hawalaani haul (telah berlangsung satu tahun) hijriah/qamariyah
b) memenuhi nishab dan
c) kadar zakat disesuaikan dengan sektor usaha suatu perusahaan.

Keempat, Ketentuan nishab dan kadar zakat perusahaan merujuk pada beberapa jenis zakat harta (zakah al-mal); emas dan perak (naqdain), perdagangan (‘urudh al-tijarah), pertanian (al-zuru’ wa al-tsimar), peternakan (al-masyiyah), dan pertambangan (ma’dan). Artinya, suatu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan terikat dengan zakat perdagangan apabila bergerak di sektor pertanian maka terikat dengan ketentuan zakat pertanian apabila bergerak di sektor peternakan maka terikat oleh ketentuan zakat peternakan dan sebagainya.

Kelima, Ijtima Komisi Fatwa memilih cara penghitungan zakat perusahaan berdasarkan keuntungan bersih setelah dikurangi biaya operasional, sebelum pembayaran pajak dan pengurangan
/ األرباح توزيع) keuntungan pembagian dividen) untuk penambahan investasi ke depan, dan berbagai keperluan lainnya.

Wallahu a`lam bisshawab

Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *